Hidup adalah perjalanan panjang. Namun sepanjang dan selama apa pun kehidupan di dunia ini, niscaya tidak akan menyamai usia keabadian kita diakhirat. Bagaimana mungkin sama, jika seribu tahun usia di dunia sebanding dengan sehari usia akhirat.
Bagaimana mungkin dunia ini sebanding denang akhirat jika disana adalah kehidupan yang sarmadiah (kekal) dan selama-lamanya. Bagi mereka yang bahagia dengan surga-Nya,niscaya akan bahagia selama-lamanya. Sedangkan penghuni neraka yang tertawan oleh dosa-dosanya, niscaya akan mengenakan segala kesengsaraan atas dirinya. Sebuah paradoks kebahagiaan dan kesengsaraan yang bertengger di titik kulminasinya. Karenanya, ia tentulah sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, terasakan oleh kulit, atau terlintas oleh hati dan pikiran manusia.
“Dan tiadalah kehidupan dunia itu, melainkan hanya sekedar kesenangan yang melenakan,”(QS Ali Imran: 185). Tengoklah cara Umar bin Khattab ra, Amirul Mukminin yang tersohor kezuhudanya, menjelaskan kedudukan akhirat atas dunia. Beliau mencelupkan tangannya kedalam laut dan mengangkatnya sambil membiarkan tetes demi tetes air menetes dari celah jari-jarinya, seraya berkata, “perumpamaan dunia dan akhirat yang kita kejar itu, hanyalah seperti air yang menetes dari celah jari-jariku ini, di bandingkan dengan seluruh air yang ada dilaut ini.”
Dunia ibarat lautan ganas yang telah menenggelamkan banyak orang, begitu kata Lukmanul Hakim. Untuk mengarunginya, siapkanlah sebuah kapal yang tangguh bernama “Ketakwaan kepada Allah SWT”, dengan tiang pancang “Keimanan” yang kokoh serta layar “Tawakkal” yang total hanya kepada-Nya. Kita pasti selamat dalam mencapai pulau keabadian yang bernama AKHIRAT itu, dengan izin Allah.
Dibanding yang selamat mengarungi ganasnya kehidupan dunia ini, lebih banyak lagi yang tenggelam karena tertipu oleh glamour dunia. Ribuan tahun sudah usia bumi ini, dan sepanjang itu pula terus saja lahir orang-orang yang dimangsa oleh patamorgana dunia. Ibarat pengembara yang tengah berada di gurun sahara, dan merasakan dahaga yang teramat sangat, ia lalu melihat titik mata air yang menjanjikan harapan dan keselamatan. Ia tidak tahu kalau itu hanya ilusi.
Itulah gambaran orang munafiq dan fasik. Orang-orang yang menyangka bahwa kebahagiaan itu hanya ada pada materi, harta, anak-anak, keluarga, dan pernak-pernik kemegahan dunia lainya. Mereka lupa, kalau semua itu sekedar sarana yang harus tunduk demi meraih ridha-Nya. Agar semua anugera itu tidak berubah menjadi fitnah dan bencana . “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kesibukanmu mengurus harta dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Dan barang siapa yang melakukan itu maka sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang merugi,” (QS Al-Munafiqun: 9).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar